![]() |
Bendera Iran dan Mesir |
Pekan lalu sebuah delegasi pemerintah Mesir berkunjung ke Iran. Selama berada di Tehran mereka bertemu dan berunding dengan para pejabat tinggi Republik Islam Iran, termasuk Presiden Mahmoud Ahmadinejad. Topik pembicaraan dalam setiap pertemuan itu adalah soal normalisasi hubungan Tehran-Kairo.
Setelah jatuhnya kekuasaan rezim Hosni Mubarak Februari lalu, pemerintah transisi Mesir berulang kali menyatakan minatnya untuk menormalisasi hubungan dengan Iran. Gayungpun bersambut setelah Iran membuka tangan dan menyambut gembira perubahan kebijakan Mesir di bawah pemerintahan sementara.
Transformasi yang bergulir dengan cepat di kawasan yang diwarnai dengan tumbangnya rezim-rezim despotik dan otoriter dukungan Barat telah mengubah konstelasi politik di kawasan. Salah satu perubahan terpenting yang terjadi saat ini adalah melemahnya pengaruh Amerika Serikat (AS) dengan sekutu-sekutu Eropanya seiring dengan menguatnya peran rakyat dalam menentukan masa depan negeri mereka. Perkembangan yang terjadi Mesir menjadi sorotan publik politik dan media mengingat posisi negara ini di kawasan dan perubahan kebijakan luar negerinya pasca jatuhnya rezim Mubarak.
Selama tiga dekade berada di bawah kekuasaan rezim Hosni Mubarak, Mesir menjadi negara eksekutor kebijakan AS di kawasan dan penjamin kepentingan rezim Zionis Israel. Puncaknya adalah kebijakan Kairo menutup perbatasan ketika Jalur Gaza digempur secara massif oleh Israel pada perang 22 hari. Dengan ditutupnya perbatasan Rafah, tak ada bantuan apapun yang bisa dikirim oleh masyarakat internasional dan Dunia Islam kepada warga Palestina di Gaza. Tumbangnya rezim Mubarak mengancam kepentingan AS dan Israel. Salah satu hal yang dicemaskan AS dan rezim Zionis adalah perubahan kebijakan luar negerinya, khususnya normalisasi hubungan negara ini dengan Republik Islam Iran.
Salah satu masalah penting yang selama ini mempengaruhi hubungan Iran dan Mesir adalah masalah rezim Zionis Israel. Tahun 1960, hubungan kedua Negara sempat terputus setelah Iran di era rezim Syah Pahlevi menjalin hubungan dengan Rezim Zionis Israel. Saat itu, Mesir dipimpin oleh sosok pemimpin kharismatik Gamal Abdel Nasser sementara Iran berada di bawah kekuasaan Syah Mohammad Reza Pahlevi. Menyusul wafatnya Abdel Nasser tahun 1970, kedua negara menandatangani protokol pembukaan hubungan bilateral. Ketika itu, Anwar Sadat yang menjadi Presiden Mesir mulai meninggalkan semangat nasionalisme dan anti Israelnya. Akhirnya pada tahun 1979 di tahun kemenangan revolusi Islam Iran, Anwar Sadat menandatangani perjanjian Camp David yang merupakan perjanjian pengkhianatan terhadap perjuangan bangsa Palestina. Di Iran, pemimpin agung revolusi Islam, Imam Khomeini memerintahkan pemutusan hubungan dengan Mesir yang sudah berdamai dengan Israel. Sejak saat itulah, selama lebih dari 30 tahun, Iran dan Mesir tidak menjalin hubungan diplomatik.
Selama tiga dekade, Iran dan Mesir tidak menjalin hubungan diplomatik, bahkan terkesan adanya permusuhan di antara keduanya. Faktor terpenting dalam hal ini adalah kebijakan Mesir yang pro Israel. Karena itu, dengan tersingkirnya Mubarak, ada harapan kuat pemerintahan transisi Mesir menganulir kebijakan negara itu dalam masalah Israel dan berpikir untuk mendekati pihak-pihak yang selama ini berada dalam front muqawama anti rezim Zionis, khususnya Iran. Tak heran jika saat ini para pejabat tinggi di pemerintahan transisi dan para tokoh politik Mesir berbicara tentang perlunya menjalin hubungan dengan Iran. Salah satunya adalah Amr Moussa yang pernah menjabat sebagai Sekjen Liga Arab dan Menteri Luar Negeri Mesir. Politikus senior ini dalam wawancara dengan Washington Post mengatakan, Mesir harus bergerak ke arah perbaikan hubungan dengan Republik Islam Iran. Kita akan memperoleh banyak keuntungan dari hubungan damai dan menurunnya ketegangan dalam hubungan kita dengan Iran."
Mengenai program nuklir Iran Moussa mengkritik sikap Barat dan menandaskan, "Dalam masalah nuklir, yang harus dipermasalahkan pertama kali adalah program nuklir Israel." Terkait hubungan Mesir dengan AS, mantan Sekjen Liga Arab mengatakan, hubungan ini mesti dijalin dengan mempertimbangkan kondisi Mesir yang baru dan dengan memperhatikan pandangan rakyat Mesir. Periode saat AS bisa menyelesaikan semua masalah hanya dengan satu orang saja (Hosni Mubarak) sudah berakhir.
Langkah yang dilakukan pemerintah Mesir dalam beberapa bulan terakhir menunjukkan adanya perubahan mendasar dalam kebijakan pemerintahan pasca Mubarak terkait rezim Zionis Israel. Salah satu langkah yang membanggakan adalah keberhasilan Mesir dalam menjembatani terwujudkan rekonsiliasi nasional Palestina dengan tercapainya kesepakatan damai antara dua faksi besar Palestina, Hamas dan Fatah. Penandatangan perjanjian rekonsiliasi nasional Palestina membuat para petinggi zionis dan AS bak kebakaran jenggot. Berdasarkan kesepakatan, akan segera dibentuk pemerintahan persatuan nasional yang menyertakan seluruh faksi Palestina. Yang menarik dalam kondisi seperti ini, negara-negara Barat yang notabene pendukung Israel menyatakan siap mengakui kemerdekaan Palestina. Sikap itu didasari oleh keputusasaan mereka mencegah terbentuknya pemerintahan Palestina yang merdeka.
Kebijakan penting lain yang telah diambil pemerintah Mesir adalah membuka jalur perbatasan Rafah yang menghubungkan Jalur Gaza dengan Mesir dan dunia luar. Dengan adanya kebijakan ini praktis blokade kejam yang telah mendera warga Gaza dalam empat tahun ini telah berakhir. Langkah pemerintah ini mengindikasikan adanya keinginan kuat dari para pemimpin di negara itu untuk menemukan posisinya dan memainkan peran besar dalam transformasi yang terjadi di kawasan. Peran itu mesti dilandasi oleh kepentingan rakyat Mesir dan Palestina. Seiring dengan itu, para pemimpin pemerintahan sementara Mesir melirik Iran untuk membuka secara resmi hubungan diplomatik yang sudah terputus selama tiga dekade.
Normalisasi hubungan kedua negara sudah pasti akan menghasilkan perubahan mendasar dalam peta politik di Timur Tengah. Tak heran jika lantas ada sejumlah pihak yang keberatan dan menentang upaya normalisasi hubungan Iran dan Mesir. Dengan segala upaya dan sarana finansial, media propaganda maupun kekuatan diplomasi mereka berusaha keras mencegah langkah Mesir mendekati Iran. Salah satu cara yang mereka lakukan adalah menekan para pemimpin Mesir dengan ancaman pemutusan bantuan finansial kepada Kairo.
Kubu penentang normalisasi hubungan Iran dan Mesir terdiri atas dua kelompok. Kelompok pertama adalah rezim Zionis Israel dan Amerika Serikat (AS) yang terus berusaha mengganjal terjalinnya hubungan ini. Kelompok kedua adalah rezim-rezim Arab non demokratik di bawah komando Arab Saudi. Para penguasa di negara-negara ini merasa posisi mereka di kawasan terancam dengan terjalinnya hubungan Mesir dengan Iran. Tentunya kedua kelompok itu berada di satu kubu yaitu kubu yang menentang hubungan baik Kairo dan Tehran.
Sejak Hosni Mubarak lengser, Arab Saudi berusaha keras mengambil alih peran sebagai eksekutor kebijakan AS di Timur Tengah. Sebab, memang rezim-rezim seperti keluarga Saud di Arab Saudi yakin bahwa kelanggengan kekuasaan mereka hanya bisa dijamin jika mereka patuh kepada pihak asing. Kini, Timur Tengah sedang berada dalam gelora kebangkitan rakyat Muslim menentang rezim-rezim bobrok, despotik dan dependen. Karena itu, sulit dibayangkan Arab Saudi akan mampu menggantikan posisi Mesir dalam menjalankan kebijakan AS.
Dengan kekuatan finansialnya, Arab Saudi berusaha memanfaatkannya untuk menekan Mesir agar melupakan hubungan dengan Iran. Mungkin saja, uang dapat mengganggu upaya normalisasi ini untuk jangka pendek, namun ke depan tak mungkin Arab Saudi bisa menghalangi niat dua negara yang memiliki masa lalu gemilang dan sejarah panjang untuk merapat dan menyambung kembali tali persahabatan yang terputus selama beberapa dekade. AS, Israel dan Arab Saudi menghadapi satu bangsa dengan populasi 80 juta jiwa yang sudah bertekad untuk menentukan sendiri nasib negeri mereka.